Cerber Hery Prasetyo Rupanya di ruang rapat sudah lengkap. Ada pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, Albert, juga wartawan lain. Kalian berdua kemarin pulang sore, jadi tak sempat melihat pengumuman rapat. Maklum, instruksi dari atas juga mendadak dan sudah malam. Aku baru ingat tadi pagi, maka langsung kutelepon, jelas Albert. Rapat pun segera dimulai. Rupanya koran ini melihat ada perubahan konstalasi politik, sehingga perlu ada kebijakan peliputan dan pemberitaan baru. Bahkan ada wartawan yang memperkirakan Soeharto bisa jatuh, meski akan dilantik lagi sebagai presiden. Ketakutan terhadap pembredelan mulai dikurangi. Keberanian sedikit ditingkatkan. Dan, keberpihakan kepada perubahan diembuskan. Anda tidak dapat mempertimbangkan semua yang anda hanya membaca untuk menjadi informasi penting tentang Harga Jual Blackberry iPhone Laptop Murah. Tapi jangan heran jika Anda menemukan diri Anda mengingat dan menggunakan informasi ini sangat dalam beberapa hari mendatang.
Kebijakan itu membuat Baskara dan para wartawan sangat senang dan puas. Meski tetap saja ada batasan-batasan, tapi mereka merasa lebih bebas dari sebelumnya. Baskara dan Lukito yang sering menurunkan tulisan dan foto menyerempet bahaya " untuk ukuran era Orde Baru " makin bersemangat. Selepas rapat, keduanya langsung berdiskusi untuk membuat liputan yang menyengat. "Luke, aku punya ide. Bagaimana kalau kamu temui beberapa pengamat vokal untuk diminta bicara tentang keadaan terkini. Kita arahkan agar mereka menganalisis kemungkinan perubahan, syukur-syukur tentang pergantian pemimpin nasional. Jangan dilupakan para pentolan mahasiswa. Mereka sudah makin gerah. Sementara aku harus memotret di Gedung DPR RI, kata Baskara. Cocok! Nanti juga aku crossing dengan para pejabat, biar ramai, jawab Lukito. Begitu menyinggung mahasiswa, Baskara jadi teringat Lili kembali. Sejenak dia diam dan menunjukkan wajah gundah-gulana lagi. Lukito pun menjadi heran, karena tidak biasanya Baskara mudah melamun. Kok diam? Punya ide apa lagi? bentak Lukito. Entahlah, aku jadi memikirkan seseorang, nih. Ciyeee, lagi kasmaran, ya? Sepertinya begitu. Baru ketemu tadi pagi, tapi hatiku sudah dibuat resah. Sejak kapan kamu cengeng? Kasih tahu, dong. Ini bukan cengeng, tapi manusiawi. Rasanya aku harus berusaha agar lebih dekat dengannya. Boleh tahu siapa orangnya? Memang penting bagimu? Ini serius Luke. Aku tampaknya benar-benar mabuk-kepayang kepadanya. Penting, dong. Engkau sahabatku. Aku juga bisa serius. Kalau memang itu akan membahagiakanmu, si kerempeng ini akan berbuat apa saja demi sahabat, kalau sudah begitu, biasanya Lukito mulai bisa serius. Oke aku kasih tahu. Dia teman Zaliany, keturunan Tionghoa, puas? Kamu juga tidak tahu dan tak bisa banyak membantu. Nggak salah kamu mengejar cewek Cina? Ah, tapi tak apalah. Biar kehidupan ini ada variasi, baur, dan tak ada anti itu dan anti ini. Apa yang bisa aku bantu, kawan? Kamu tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun sudah membantu. Sudah, ah. Kita kerja. Aku mau hunting foto. Kamu sana cari berita yang bagus, kata Baskara. Oke, nanti ketemu lagi di kantor. Diskusi lagi. Soal incaranmu tampaknya akan menarik. Siapa namanya? tanya Lukito lagi. Lili atau Thio Mei Li. Nama yang bagus. Oke, nanti ceritakan lagi, aku harus segera beraksi, kata Lukito langsung ngeloyor.
Kebijakan itu membuat Baskara dan para wartawan sangat senang dan puas. Meski tetap saja ada batasan-batasan, tapi mereka merasa lebih bebas dari sebelumnya. Baskara dan Lukito yang sering menurunkan tulisan dan foto menyerempet bahaya " untuk ukuran era Orde Baru " makin bersemangat. Selepas rapat, keduanya langsung berdiskusi untuk membuat liputan yang menyengat. "Luke, aku punya ide. Bagaimana kalau kamu temui beberapa pengamat vokal untuk diminta bicara tentang keadaan terkini. Kita arahkan agar mereka menganalisis kemungkinan perubahan, syukur-syukur tentang pergantian pemimpin nasional. Jangan dilupakan para pentolan mahasiswa. Mereka sudah makin gerah. Sementara aku harus memotret di Gedung DPR RI, kata Baskara. Cocok! Nanti juga aku crossing dengan para pejabat, biar ramai, jawab Lukito. Begitu menyinggung mahasiswa, Baskara jadi teringat Lili kembali. Sejenak dia diam dan menunjukkan wajah gundah-gulana lagi. Lukito pun menjadi heran, karena tidak biasanya Baskara mudah melamun. Kok diam? Punya ide apa lagi? bentak Lukito. Entahlah, aku jadi memikirkan seseorang, nih. Ciyeee, lagi kasmaran, ya? Sepertinya begitu. Baru ketemu tadi pagi, tapi hatiku sudah dibuat resah. Sejak kapan kamu cengeng? Kasih tahu, dong. Ini bukan cengeng, tapi manusiawi. Rasanya aku harus berusaha agar lebih dekat dengannya. Boleh tahu siapa orangnya? Memang penting bagimu? Ini serius Luke. Aku tampaknya benar-benar mabuk-kepayang kepadanya. Penting, dong. Engkau sahabatku. Aku juga bisa serius. Kalau memang itu akan membahagiakanmu, si kerempeng ini akan berbuat apa saja demi sahabat, kalau sudah begitu, biasanya Lukito mulai bisa serius. Oke aku kasih tahu. Dia teman Zaliany, keturunan Tionghoa, puas? Kamu juga tidak tahu dan tak bisa banyak membantu. Nggak salah kamu mengejar cewek Cina? Ah, tapi tak apalah. Biar kehidupan ini ada variasi, baur, dan tak ada anti itu dan anti ini. Apa yang bisa aku bantu, kawan? Kamu tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun sudah membantu. Sudah, ah. Kita kerja. Aku mau hunting foto. Kamu sana cari berita yang bagus, kata Baskara. Oke, nanti ketemu lagi di kantor. Diskusi lagi. Soal incaranmu tampaknya akan menarik. Siapa namanya? tanya Lukito lagi. Lili atau Thio Mei Li. Nama yang bagus. Oke, nanti ceritakan lagi, aku harus segera beraksi, kata Lukito langsung ngeloyor.
No comments:
Post a Comment