KOMPAS.com - "Saya ibu bekerja dengan satu anak berusia lima tahun. Selama di rumah, ia diasuh babysitter. Di rumah hanya ada satu televisi. Si pengasuh suka sekali menonton acara-acara musik. Anak kami pun jadi sering mendendangkan lagu-lagu orang dewasa. Menurut saya, ini tidak masalah karena toh anak tidak mengerti artinya, dan hanya menyukai nada-nadanya. Tapi saya pernah membaca dalam berita di media massa bahwa tidak baik kalau anak-anak menyanyikan lagu orang dewasa. Benarkah demikian?" (Rini, Utan Kayu) Memang harus diakui, saat ini ada kekosongan lagu anak-anak. Menurut Dra Tiwin Herman, MPsi, dari PT Psiko Utama, lagu anak-anak adalah lagu yang lirik dan musiknya menggambarkan dunia anak, dekat dengan hal-hal yang menggembirakan, permainan, serta hal-hal bersifat mendidik. Melalui lagu, anak diajak untuk belajar, mulai dari mengenali organ tubuh, huruf, angka, hingga kekayaan alam serta budi pekerti. Hal ini selaras dengan perkembangan kognitif dan psikologis anak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini intensitas penyiaran lagu-lagu cinta-cintaan (lagu dewasa) itu memang tinggi. Setiap saat bisa didengar dari berbagai media. Saya sering melihat orangtua yang bangga ketika anaknya yang masih berusia dua-tiga tahun bisa menyanyi menirukan lagu-lagu yang sedang populer milik band yang sering ada di televisi. Di sisi lain, anak-anak belajar banyak hal dari proses imitasi atau meniru apa yang mereka lihat atau dengar. Akhirnya, tidak heran jika kemudian anak-anak menjadi lebih sering menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Lagu-lagu dewasa pada umumnya bercerita tentang cinta, kecemburuan, patah hati, dan sejenisnya, yang konsepnya sendiri seringkali belum dipahami anak. Ada semacam "percepatan dunia dewasa" yang dibiarkan (bahkan mungkin dipaksakan) secara halus kepada anak-anak bila mereka selalu menyanyikan lagu orang dewasa. Tentu ini akan memengaruhi perkembangan anak. Once you begin to move beyond basic background information, you begin to realize that there's more to mobil keluarga ideal terbaik indonesia than you may have first thought.
Bahasa awam yang mengatakan "matang sebelum masanya" bisa menjadi analogi untuk menggambarkan kondisi anak "terpaksa tahu" walau sebetulnya ia "belum berhak" tahu. Jika informasi ini (yang masuk ke kognitifnya sebagai pengetahuan) cukup banyak untuk masanya, tetapi emosinya sendiri belum matang, bisa dibayangkan apa yang terjadi. Demikian juga dengan lagu-lagu yang dinyanyikannya: mengenai patah hati, kecemburuan, atau -yang sekarang sedang ngetren- perselingkuhan. Pengasuh atau orang di rumah yang dekat dengan anak bisa saja memberikan penjelasan, tapi belum tentu anak paham. Bisa-bisa anak malah memahami perselingkuhan sebagai hal biasa. Ini tentu akan memengaruhi norma-norma yang akan dianutnya. Ini baru dari aspek perkembangan moral, padahal masih ada banyak aspek lainnya. Untuk mengajarkan buah hati menyanyikan lagu anak di tengah gempuran lagu-lagu dewasa, orangtua dituntut berperan aktif. Kita bertugas mengakrabkan anak-anak dengan dunianya, melalui lagu-lagu yang setaraf dengan perkembangan agar dapat memaksimalkan tahap perkembangannya. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan. Mulai dari memberi kesempatan bagi lagu anak-anak untuk diperdengarkan bersama, atau memberikan motivasi pada anak agar bangga menyanyikan lagunya. Cara paling efektif untuk memperkenalkan lagu anak adalah dengan mengaitkan pada situasi atau kondisi yang sedang dirasakan. Misalnya ketika anak bertanya tentang cicak yang sering berkeliaran di rumah, perkenalkan lagu Cicak-cicak di Dinding, dan lain sebagainya. Sejak zaman dahulu sebetulnya kita sudah memiliki banyak sekali lagu anak-anak. Demikian pula dengan lagu daerah. "Saya rasa tidak pada tempatnya untuk selalu menyalahkan media. Saya cenderung mengatakan proses pengenalan anak pada lagu-lagu anak banyak dipengaruhi lingkungan. Diperlukan kesediaan orangtua untuk mengajarkan langsung pada anak dan meminimalkan informasi yang kurang sesuai," kata Tiwin.
Editor: Dini Sumber: Majalah Sekar
Bahasa awam yang mengatakan "matang sebelum masanya" bisa menjadi analogi untuk menggambarkan kondisi anak "terpaksa tahu" walau sebetulnya ia "belum berhak" tahu. Jika informasi ini (yang masuk ke kognitifnya sebagai pengetahuan) cukup banyak untuk masanya, tetapi emosinya sendiri belum matang, bisa dibayangkan apa yang terjadi. Demikian juga dengan lagu-lagu yang dinyanyikannya: mengenai patah hati, kecemburuan, atau -yang sekarang sedang ngetren- perselingkuhan. Pengasuh atau orang di rumah yang dekat dengan anak bisa saja memberikan penjelasan, tapi belum tentu anak paham. Bisa-bisa anak malah memahami perselingkuhan sebagai hal biasa. Ini tentu akan memengaruhi norma-norma yang akan dianutnya. Ini baru dari aspek perkembangan moral, padahal masih ada banyak aspek lainnya. Untuk mengajarkan buah hati menyanyikan lagu anak di tengah gempuran lagu-lagu dewasa, orangtua dituntut berperan aktif. Kita bertugas mengakrabkan anak-anak dengan dunianya, melalui lagu-lagu yang setaraf dengan perkembangan agar dapat memaksimalkan tahap perkembangannya. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan. Mulai dari memberi kesempatan bagi lagu anak-anak untuk diperdengarkan bersama, atau memberikan motivasi pada anak agar bangga menyanyikan lagunya. Cara paling efektif untuk memperkenalkan lagu anak adalah dengan mengaitkan pada situasi atau kondisi yang sedang dirasakan. Misalnya ketika anak bertanya tentang cicak yang sering berkeliaran di rumah, perkenalkan lagu Cicak-cicak di Dinding, dan lain sebagainya. Sejak zaman dahulu sebetulnya kita sudah memiliki banyak sekali lagu anak-anak. Demikian pula dengan lagu daerah. "Saya rasa tidak pada tempatnya untuk selalu menyalahkan media. Saya cenderung mengatakan proses pengenalan anak pada lagu-lagu anak banyak dipengaruhi lingkungan. Diperlukan kesediaan orangtua untuk mengajarkan langsung pada anak dan meminimalkan informasi yang kurang sesuai," kata Tiwin.
Editor: Dini Sumber: Majalah Sekar
No comments:
Post a Comment